Banyak anak, banyak rezeki. Presepsi yang mulai dikikis habis oleh pemerintah lewat program BKKBN agar tidak mendorong lahirnya ledakan penduduk. Akibatnya, banyaknya jumlah penduduk akan menjadi beban tersendiri bagi pemerintah, utamanya terkait dengan pelaksanaan program pembangunan di berbagai sektor.
Beberapa saat yang lalu, saya sempat bercengkerama dengan kakek saya yang sudah berumur 87 tahun. Beliau bercerita bagaimana kehidupannya dulu hingga mempunyai 10 anak. Menariknya, meski dengan jumlah anak yang banyak, keluarga kekek tidak membutuhkan pembantu rumah tangga.
Saya paham betul bagaimana kehidupan keluarga yang beliau jalani, menggembala kambing, bercocok tanam dan menggarap sawah. Meski tergolong hidup sederhana, tetapi kakek memiliki anak-anak yang tergolong sukses, mulai dari pengusaha konveksi, pegawai negeri, prajurit TNI, hingga pengusaha warung makan.
Hampir 2 jam kita asyik bercerita tentang jumlah anak dan kehidupan beliau dulu, ada beberapa hal yang membuat saya kaget, seketika saya bertanya tentang motivasi apa yang mendorong beliau untuk memiliki banyak anak, kakek saya pun menjawab “yo soale akeh anak akeh rejekine” jawabnya dalam Bahasa Jawa.
Cerita di atas adalah sekelumit cerita dari keluarga besar saya. Dan ajaibnya lagi, banyak keluarga yang memiliki 10 anak lebih selain kakek saya, artinya pemikiran “banyak anak banyak rezeki ” dahulu cukup melekat di benak masyarakat.
Selain cerita unik dari kakek, saya teringat juga dengan cerita keluarga halilintar yang sempat menggemparkan publik nusantara dengan portofolio keluarga yang mempunyai 11 anak atau yang sering disebut dengan “kesebelasan halilintar”.
Terakhir kali saya mendengar berita bahwa keluarga ini menjalani lawatan ke lebih dari 100 negara di 5 benua telah mereka singgahi. Mulai dari Asia hingga Amerika Serikat. Sembari asyiknya berkeliling dunia, keluarga ini seakan menyampaikan pesan kepada publik, bahwasanya tidak ada yang sulit ketika memiliki banyak anak, baik untuk urusan ekonomi maupun urusan kekeluargaan.
Potret keluarga halilintar saat ini memang merupakan fenomena langka. Kenyataannya banyak fenomenanya serupa yang justru menambah beban bagi keluarga, terutama urusan ekonomi. Kondisi demikian yang akan terus diperangi oleh pemerintah lewat program dari BKKBN. Sebab banyak anak akan menambah banyak jumlah penduduk yang akan berdampak pada besarnya beban permasalahan Negara, baik sektor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, maupun kesejahteraan.
Pada Negara maju dan berkembang, memilih mengatur angka kelahiran penduduknya dengan membatasi jumlah anak di setiap keluarga. Bahkan pada beberapa Negara, melahirkan anak lebih dari 1 dianggap sebagai bentuk pelanggar aturan, dan patut mendapat sanksi.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia, yang pada tahun 2010 menempati urutan ke-4 penduduk terbanyak di dunia, setelah China, India, dan Amerika. Sesuai hasil sensus 2010, penduduk Indonesia mencapai angka 237.641.326 jiwa, dan pada tahun 2015 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia mencapai lebih dari 250 juta jiwa.
Peristiwa kelahiran pada suatu daerah menyebabkan perubahan jumlah dan komposisi penduduk, sedangkan kematian dapat mengurangi jumlah penduduk pada suatu daerah. Selain penyebab langsung seperti kelahiran, kematian, dan migrasi. Ada pula penyebab tidak langsung seperti, keadaan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, politik, dan lain sebagainya.
Masih ingatkah dengan isu bonus demografi, ya.. bonus demografi yang diperkirakan pada tahun 2020 s/d 2030. Di mana penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia muda dan usia lanjut, jumlah usia produktif (angkatan kerja) yang berusia kisaran 15-64 tahun mencapai 70%, artinya usia produktif sekitar 180 juta, sementara usia non produktif sekitar 60 juta.
Kependudukan masih menjadi ancaman serius, perlunya takar ulang kondisi kependudukan saat ini melalui beberapa faktor di bawah ini:
Beberapa saat yang lalu, saya sempat bercengkerama dengan kakek saya yang sudah berumur 87 tahun. Beliau bercerita bagaimana kehidupannya dulu hingga mempunyai 10 anak. Menariknya, meski dengan jumlah anak yang banyak, keluarga kekek tidak membutuhkan pembantu rumah tangga.
Saya paham betul bagaimana kehidupan keluarga yang beliau jalani, menggembala kambing, bercocok tanam dan menggarap sawah. Meski tergolong hidup sederhana, tetapi kakek memiliki anak-anak yang tergolong sukses, mulai dari pengusaha konveksi, pegawai negeri, prajurit TNI, hingga pengusaha warung makan.
Hampir 2 jam kita asyik bercerita tentang jumlah anak dan kehidupan beliau dulu, ada beberapa hal yang membuat saya kaget, seketika saya bertanya tentang motivasi apa yang mendorong beliau untuk memiliki banyak anak, kakek saya pun menjawab “yo soale akeh anak akeh rejekine” jawabnya dalam Bahasa Jawa.
Cerita di atas adalah sekelumit cerita dari keluarga besar saya. Dan ajaibnya lagi, banyak keluarga yang memiliki 10 anak lebih selain kakek saya, artinya pemikiran “banyak anak banyak rezeki ” dahulu cukup melekat di benak masyarakat.
Selain cerita unik dari kakek, saya teringat juga dengan cerita keluarga halilintar yang sempat menggemparkan publik nusantara dengan portofolio keluarga yang mempunyai 11 anak atau yang sering disebut dengan “kesebelasan halilintar”.
Terakhir kali saya mendengar berita bahwa keluarga ini menjalani lawatan ke lebih dari 100 negara di 5 benua telah mereka singgahi. Mulai dari Asia hingga Amerika Serikat. Sembari asyiknya berkeliling dunia, keluarga ini seakan menyampaikan pesan kepada publik, bahwasanya tidak ada yang sulit ketika memiliki banyak anak, baik untuk urusan ekonomi maupun urusan kekeluargaan.
Potret keluarga halilintar saat ini memang merupakan fenomena langka. Kenyataannya banyak fenomenanya serupa yang justru menambah beban bagi keluarga, terutama urusan ekonomi. Kondisi demikian yang akan terus diperangi oleh pemerintah lewat program dari BKKBN. Sebab banyak anak akan menambah banyak jumlah penduduk yang akan berdampak pada besarnya beban permasalahan Negara, baik sektor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, maupun kesejahteraan.
Pada Negara maju dan berkembang, memilih mengatur angka kelahiran penduduknya dengan membatasi jumlah anak di setiap keluarga. Bahkan pada beberapa Negara, melahirkan anak lebih dari 1 dianggap sebagai bentuk pelanggar aturan, dan patut mendapat sanksi.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia, yang pada tahun 2010 menempati urutan ke-4 penduduk terbanyak di dunia, setelah China, India, dan Amerika. Sesuai hasil sensus 2010, penduduk Indonesia mencapai angka 237.641.326 jiwa, dan pada tahun 2015 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia mencapai lebih dari 250 juta jiwa.
Peristiwa kelahiran pada suatu daerah menyebabkan perubahan jumlah dan komposisi penduduk, sedangkan kematian dapat mengurangi jumlah penduduk pada suatu daerah. Selain penyebab langsung seperti kelahiran, kematian, dan migrasi. Ada pula penyebab tidak langsung seperti, keadaan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, politik, dan lain sebagainya.
Masih ingatkah dengan isu bonus demografi, ya.. bonus demografi yang diperkirakan pada tahun 2020 s/d 2030. Di mana penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia muda dan usia lanjut, jumlah usia produktif (angkatan kerja) yang berusia kisaran 15-64 tahun mencapai 70%, artinya usia produktif sekitar 180 juta, sementara usia non produktif sekitar 60 juta.
Kependudukan masih menjadi ancaman serius, perlunya takar ulang kondisi kependudukan saat ini melalui beberapa faktor di bawah ini:
- Kualitas penduduk
- Kuantitas/jumlah penduduk
- Persebaran penduduk
Kualitas penduduk yang rendah menimbulkan berbagai dampak seperti, kualitas SDM/tenaga kerja yang rendah, daya kompetisi yang lemah, angka pengangguran tinggi, dan masalah kemiskinan yang semakin kompleks.
Selain itu, kuantitas penduduk yang cukup besar seharusnya bisa memberikan dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, Amerika dan China contohnya. Akan tetapi, kuantitas penduduk yang besar juga bisa menjadi beban jika tidak diimbangi oleh kualitas penduduk itu sendiri.
Selain itu, kuantitas penduduk yang cukup besar seharusnya bisa memberikan dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, Amerika dan China contohnya. Akan tetapi, kuantitas penduduk yang besar juga bisa menjadi beban jika tidak diimbangi oleh kualitas penduduk itu sendiri.
About @mas_wah
Hai Perkenalkan, nama saya Wahyu yang lebih akrab dipanggil mas wah, saya hanya mahasiswa tingkat akhir yang nimburg di beberapa organisasi dan komunitas, dan juga perlahan peduli dengan isu-isu sosial dan mencoba menuliskan di personal blog saya.
0 komentar:
Posting Komentar